Reaksi Soeharto?
“Dia tidak bereaksi”, kata
Latief dalam pengakuannya kepada Soebandrio.
Latief juga bertemu Soeharto
pada 30 September 1965 menjelang tengah malam di RSPAD “Gatot Subroto”,
ketika Soeharto sedang menunggui anaknya, Hutomo Mandala Putra, yang
ketumpahan sup panas. Saat itu Latief melaporkan rencana penculikan
beberapa jenderal, yang akan dilaksanakan menjelang subuh. Itu juga
tidak ditanggapi Soeharto.
“Setelah Latief bertemu
Soeharto, ia lantas menemui Soepardjo dan Untung. Latief dengan
berseri-seri melaporkan bahwa Soeharto berada di belakang mereka” (KTG
hal. 52).
Prolog G-30-S
Soebandrio memulai KTG dengan
menguraikan konflik kalangan elite politik di ibukota pada paroh
pertama 1960-an. Pertama-tama disebutnya tentang kebencian Amerika
Serikat (AS) terhadap RI, karena PKI merupakan partai legal dan
dibiarkan bergerak leluasa di Indonesia. Ketika AS sampai menghentikan
bantuannya, Bung Karno di depan rapat umum justru menjawab lantang: “Go
to hell with your aid! Ini dadaku mana dadamu!”.
Menghadapi situasi demikian
diam-diam AS menggalang hubungan dengan faksi-faksi militer di tubuh
ABRI. Saat itu ada tiga kubu politik di Indonesia. Pertama, Bung Karno
yang didukung para menteri Kabinet Dwikora. Kedua, kubu TNI yang
terpecah dalam faksi Letjen TNI AH Nasution dan faksi Letjen TNI Ahmad
Yani. Soeharto, semula termasuk kubu Nasution, tapi belakangan
membangun kubunya sendiri. “CIA berada di belakang kubu Nasution,”
tutur Soebandrio.
Soekarno, yang menyadari adanya
faksi-faksi itu, lalu membatasi peranan Nasution. Meski Nasution tetap
sebagai Kastaf ABRI, tapi Soekarno menugasi Menpangad A.Yani agar
membatasi gerak Nasution. Akibatnya hubungan Yani-Nasution memburuk.
Nasution malah digeser “naik”, menjadi penasihat presiden pada 1963.
Kubu ketiga ialah PKI dengan
tiga juta orang anggota dan didukung 17 juta anggota ormas-ormasnya,
seperti BTI, SOBSI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani. Ketua CC PKI D.N. Aidit
ketika itu Menko Wakil Ketua MPRS.
Soeharto merasa terjepit di
antara kubu Nasution dan kubu Yani. Ini disebabkan oleh karena dengan
dua atasannya itu ia menyimpan kisah yang tidak menyenangkan. Seperti
dituturkan Soebandrio juga, Soeharto pernah tersiar sebagai penyelundup
beras. Dalam hal ini ia bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dan Bob
Hasan. Konon karenanya Yani bahkan pernah menempeleng Soeharto. Sedang
Nasution mengusulkan, agar Soeharto diseret ke pengadilan. Tapi atas
usul Mayjen Gatot Subroto, Soeharto diampuni dan disekolahkan ke
Seskoad.
Ketika kepercayaan AS kepada
Nasution meluntur — karena PKI ternyata semakin merajalela — Soeharto
mulai bermain. Dipanggilnya Yoga Sugama, ketika itu Dubes RI di Beograd
Yugoslavia, diangkat menjadi Kepala Intelijen Kostrad (Februari 1965).
Muncullah trio Soeharto, Ali Moertopo dan Yoga, yang bertujuan
menyabot langkah-langkah politik Presiden Soekarno, dan untuk
menghancurkan PKI.
Soeharto, Yoga dan Ali memang
sudah lama saling berteman, yaitu ketika mereka masih di Kodam
“Diponegoro”. Menurut Soebandrio, dalam percobaan kudeta 3 Juli 1946,
yang dilancarkan Tan Malaka dan Partai Murba terhadap Perdana Menteri
Sjahrir, Soeharto yang ikut berkomplot tiba-tiba berbalik.
Ditangkapnyalah penculik Sjahrir. “Ia selalu bermuka dua,” tutur
Soebandrio. Taktik busuk itu juga yang ditempuh Soeharto dalam G30S.
Melancarkan desas-desus
Ada peristiwa kecil yang
dibesar-besarkan oleh faksi Soeharto. Yaitu isu tentang Bung Karno
sakit keras pada awal Agustus 1965, sehingga Aidit harus mendatangkan
dokter ahli dari RRT. Desas-desus ini ditambah, akibat penyakitnya itu
Bung Karno bisa meninggal, atau jika selamat, setidaknya menjadi
lumpuh.
Peristiwa rekayasa itu lalu
dianalisis. PKI, yang “yo sanak yo kadang” bagi Bung Karno, pasti akan
menjadi khawatir kalau pimpinan nasional sampai jatuh ke tangan TNI AD.
Menurut analisis ini, PKI lalu menyusun kekuatan untuk merebut
kekuasaan. Begitulah, maka akhirnya yang terjadi ialah “G30S/PKI”.
Menurut Soebandrio analisis
tersebut rekayasa murni kubu Soeharto. Sebenarnya baik Soebandrio
(ketika itu Waperdam I) maupun Leimena (ketika itu Waperdam II), cukup
tahu tentang penyakit Bung Karno. “Jangan lupa, saya dan Leimena adalah
dokter.” Kata Soebandrio. “Ternyata yang disebut sebagai dokter dari
RRC itu tak lain dokter Cina dari Kebayoran Baru Jakarta yang dibawa
Aidit. Eh, setelah diperiksa, sakit Bung Karno cuma masuk angin saja!”
Ketika Kamaruzaman alias Syam
diadili, ia memperkuat dongeng Soeharto itu. Syam adalah Kepala Biro
Khusus CC PKI, sekaligus perwira intel TNI-AD. Syam mengaku diberitahu
Aidit soal sakitnya Bung Karno, dan kemungkinan Dewan Jenderal
bertindak kalau Bung Karno meninggal. Karena itu, kata Syam, Aidit lalu
memerintahkan untuk mempersiapkan gerakan.
Kini saya katakan, cerita
sakitnya Bung Karno itu tidak benar,” tulis Soebandrio. Soebandrio
mengurai: mengapa PKI harus menyiapkan gerakan, pada saat mereka
disayangi Bung Karno yang segar-bugar?
Jadi inti desas-desus ini,
menurut Soebandrio, kubu Soeharto melontarkan provokasi agar PKI
terpancing mendahului memukul AD. Jika PKI memukul AD, PKI ibarat
dijebak masuk ladang pembantaian. Sebab, AD akan menyerang PKI, namun
seolah-olah hanya melakukan tindakan balasan. “Ini taktik AD kubu
Soeharto menggulung PKI.” Soebandrio menyimpulkan.
*wisben
0 komentar:
Posting Komentar
JANGAN CUMA LIHAT DOANK GAN!!
TINGGALIN JUGA KOMENTAR KAMU...OKE!?